Surabaya, paradigmanasional.id – Media Group PWDPI |
“Silakan cari perlindungan hukum ke mana pun, tetapi fakta pidananya tidak hilang.” — Ketua PWDPI
Rangkaian dugaan tindak pidana yang menyeret nama Wulan Dessugiastuty memasuki fase yang semakin keras dan menjadi sorotan publik Sidoarjo. Dua kasus berbeda, pencemaran nama baik melalui media sosial dan dugaan pengambilan motor tanpa hak, menunjukkan pola tindakan yang dinilai agresif dan menantang proses hukum. Dua somasi telah dilayangkan, laporan polisi berjalan, dan upaya penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi resmi pun berakhir tanpa hasil.
Kasus pertama bermula dari penyebaran foto pribadi Binti Fatliatul Munawaroh di grup Facebook “Info Masyarakat Sedati”. Unggahan itu memuat foto pribadi, alamat lengkap, informasi keluarga, serta narasi merendahkan martabat. Konten tersebut dinilai memenuhi unsur Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 310, dan Pasal 311 KUHP. Dua somasi telah dikirimkan, namun unggahan tidak dihapus dan tidak ada permintaan maaf.
Kasus kedua terkait hilangnya motor Honda Beat AG 2369 REZ milik Vienza Adhisti Santy Putri pada 10 Oktober 2025. Motor tersebut hilang dari rumah Ibu Lia di Sedati. Sejumlah saksi menyebut bahwa motor itu dibawa oleh Wulan, yang mengaku sebagai ketua kelompok pinjaman mingguan. Namun tidak ada perjanjian jaminan, tidak ada bukti persetujuan, dan motor bukan objek utang-piutang. Dugaan pencurian mengarah pada Pasal 362 KUHP dan Pasal 363 ayat (1) KUHP. Laporan resmi telah diterima Polsek Sedati.
Dalam upaya meredakan eskalasi, Kepala Desa Pepe, Kecamatan Sedati, memfasilitasi mediasi antara pihak korban dan Wulan sebagai kesempatan terakhir sebelum kasus sepenuhnya masuk jalur pidana. Namun pertemuan tersebut berakhir dengan kegagalan. Pihak Wulan tidak mengakui perbuatannya, menolak ganti rugi, menolak mengembalikan motor, dan justru merasa menjadi korban fitnah. Setelah mediasi dinyatakan gagal, Wulan memilih mencari perlindungan ke Polsek Sedati dan menyewa pengacara.
Ketua PWDPI Sidoarjo, Agus Subakti, ST, menegaskan bahwa perkara ini merupakan pidana murni. “Silakan meminta perlindungan hukum ke mana saja, itu hak setiap warga negara. Tetapi perlu diingat, perbuatan ini adalah pidana murni dan terbukti nyata. Kami akan terus mengawal dan memastikan publik mendapat informasi yang benar,” ujarnya.
Dengan dua somasi, satu laporan polisi, bukti yang menguat, saksi yang konsisten, serta mediasi resmi dari Kepala Desa Pepe yang gagal total, tekanan publik kini beralih kepada aparat kepolisian. Pertanyaan pun muncul: apakah kasus ini akan dinaikkan ke tingkat penyidikan lebih dalam, apakah unsur pencurian dengan pemberatan akan diterapkan, dan apakah prosesnya berjalan transparan tanpa intervensi?
Kasus ini menjadi contoh bagaimana konflik digital dapat menjalar menjadi persoalan fisik dan hukum. Proses berjalan, publik memantau, dan konsekuensi pidana tidak dapat dihentikan dengan sekadar meminta perlindungan atau menghadirkan pengacara. Tim Kriminal Investigasi PWDPI akan terus memantau perkembangan dan menyampaikan laporan lanjutan kepada masyarakat. (Gus &Mukhlis)





